Bisnis Berbasis Filantropi Jadi Tren Anak Muda
Usaha Kecil Menengah (UKM) tidak saja membantu pertumbuhan sektor riil. Namun juga bisa menyerap tenaga kerja dan membantu mempertahankan PDB negara. Selain itu, UKM pun memiliki kewajiban untuk berkontribusi terhadap lingkungan sosialnya. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo) Syahnan Phalipi. Ada beberapa jenis bisnis yang bisa bertahan di tengah pandemi. Salah satunya yang berbasis filantropi. Bahkan bisnis berbasis filantropi ini menjadi tren bagi anak-anak muda. Seperti yang dicontohkan Cottonology.
“Bisnis berbasis filantropi saat ini sudah menjadi tren bagi anak-anak muda yang terjun dalam dunia startup. Hal ini membuat aplikasi yang menjawab kebutuhan masyarakat. Adapun yang non digital, harusnya juga mulai mengarah ke sini. Kita paham bahwa produk dibuat karena untuk memenuhi permintaan pasar. Tapi jarang dari kita yang membuat produk karena landasan nilai sosial, bukan profit. Misalnya, kita membuat produk herbal karena memang banyak masyarakat yang sakit tapi tidak punya biaya berobat ke dokter. Sehingga obat tradisional menjadi opsi. Ini adalah landasan sosial,” ungkapnya.
UKM, tambahnnya, sebagaimana korporasi, bisa juga melakukan kegiatan CSR karena termasuk bagian dari “kewajiban” yang harus dilakukan karena skalanya yang kecil sehingga permasalahan riil masyarakat lebih dapat terdeteksi daripada perusahaan besar.
“Ukuran obyek kontribusi sebuah perusahaan kecil menengah biasanya memang di sekitar lingkunganya, atau kalau pun di luar lingkungannya, biasanya mengarah pada lembaga-lembaga sosial. Seperti berkolaborasi, UKM perlu bekerjasama dengan lembaga sosial untuk memberikan nilai tambah eksistensinya.”
Syahnan pun menganjurkan kepada pelaku di sektor ini agar produk-produk atau profit yang mereka peroleh dari bisnisnya bisa memberikan nilai tambah sosial bagi orang lain.
“Kalau setiap UMKM punya orientasi seperti ini, saya yakin kesenjangan sosial bisa lebih ditekan lagi,” katanya optimis.
Dihubungi terpisah, pelaku industri fesyen lokal asal Bandung dan pemilik Cottonology, Carolina Danella Laksono mengatakan bahwa industri fesyen di kota kembang mulai kembali menggeliat dengan meningkatnya permintaan pasar terhadap produknya, khususnya busana rumahan. Sebagai UKM yang berada di lingkungan masyarakat, ia pun menyadari bahwa eksistensi Cottonology tidak terlepas dari dukungan masyarakat di sekitarnya.
“Kami selalu memberdayakan penduduk di sekitar untuk menjadi bagian dari produksi. Mengapa demikian, karena kami berprinsip keberadaan Cottonology harus memberikan sumbangsih ekonomi mikro di lingkungan. Di kuartal akhir 2020 ini kami menambah jumlah karyawan sebanyak 25 persen dari kuartal pertama saat pertama kali pandemik ini masuk ke Indonesia. Tentu ini adalah sesuatu yang sangat kami syukuri karena bisa membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar,” tuturnya.
Manfaatkan Lingkungan Sekitar
Karyawan-karyawan baru yang direkrut tersebut rata-rata adalah masyarakat yang berdomisili di sekitar pabrik Cottonology. Olin menegaskan bahwa sejak awal ia ingin usahanya bisa menghidupi masyarakat sekitar.
“Bagian produksi dan bagian sales counter mayoritas kami rekrut dari masyarakat sekitar. Bahkan di bagian produksi pun ada ketua RT,” ungkapnya.
Setelah beberapa bulan pertumbuhan bisnis terkoreksi karena korona, di kuartal keempat 2020 ini sudah mulai kembali ke titik normal dan bahkan telah membuka konter di empat departement store dan satu toko tahun ini.
“Tentu dengan dibukanya empat gerai di kota Bandung serta satu offline store, membuat kebutuhan sumber daya manusia di bidang produksi pun ikut meningkat.”
Hanya saja, tambah Olin, khusus untuk desainer memang dicari mereka yang berpengalaman dan memiliki keahlian di bidang tersebut. Hal ini disebabkan karena Cottonology ingin memproduksi fesyen dengan motif yang disukai pasar.
“Baru-baru ini kami meluncurkan koleksi pakaian wanita yang ukurannya dibuat untuk membentuk badan terlihat lebih kurus,” ujar lulusan University of California, Berkeley ini.
Cottonology merupakan bagian dari PT GM Textile, perusahaan yang telah eksis di Indonesia lebih dari 60 tahun dengan fokus pada produksi kain tenun. Cottonology berhasil masuk top selling ranked di platform e-dagang Indonesia seperti Shopee, Lazada, BliBli, Tokopedia, JD ID dan BukaLapak. Saat ini Cottonology telah menjual lebih dari 400 ribu item pakaian pria di seluruh Indonesia. Dalam proses produksi, UKM ini melibatkan penjahit lokal di sekitar Bandung yang terdiri dari perajin rumahan, individu, atau lepasan.