BSA Targetkan 20.000 Perusahaan Konstruksi dan Teknik Kawasan Asia Tenggara Gunakan Software Berlisensi
Dengan besarnya alokasi anggaran hingga miliaran dolar yang diarahkan untuk proyek-proyek infrastruktur nasional di Asia Tenggara, BSA | Software Alliance menggelar kampanye menyerukan penggunaan software berlisensi. Kampanye ini ditujukan kepada perusahaan konstruksi dan teknik. Sehingga mereka diharapkan untuk menggunakan Software berlisensi. Hal ini digunakan untuk merancang pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, dan infrastruktur. Software berlisensi juga akan meningkatkan keamanan siber bagi perusahaan dalam beberapa tahun ke depan. Ini selaras dengan upaya pemerintah membangun strategi untuk meningkatkan daya saing nasional.
Kampanye ini merupakan kelanjutan dari inisiatif Legalisasi dan Perlindungan Regional BSA yang telah sukses diluncurkan sejak 2019. Kampanye ini telah membantu bisnis di seluruh Asia Tenggara untuk menggunakan software berlisensi dan aman sebanyak hampir 1 juta PC.
“Memiliki proyek infrastruktur generasi baru di Asia Tenggara yang dibangun dengan software yang sepenuhnya aktif, berkinerja tinggi, aman, dan berlisensi akan menjadi kekuatan yang luar biasa”, tutur Tarun Sawney, Senior Director, BSA. “BSA ingin membantu perusahaan konstruksi dan teknik terkemuka di kawasan ASEAN untuk bertransisi. Dari penggunaan software ilegal beresiko kesoftware berlisensi penuh yang dapat membuka potensi perusahaan terkemuka di kawasan ini.”
Bekerja sama dengan perusahaan software Autodesk, BSA berencana untuk menjangkau 20.000 perusahaan konstruksi dan teknik di wilayah Asia Tenggara. Termasuk 5.000 perusahaan konstruksi dan teknik dari sektor swasta dari Indonesia; 5.000 perusahaan dari Filipina, 5.000 perusahaan dari Malaysia dan 5.000 perusahaan dari Thailand. Selain perusahaan konstruksi dan teknik, adapula ragam jenis perusahaan lainya yang termasuk di dalam daftar, seperti perusahaan manufaktur dan studio animasi.
BSA akan memberikan konsultasi gratis dan layanan konsultasi dalam pelaksanaan audit bagi perusahaan sektor swasta yang membutuhkan arahan dalam penggunaan software berlisensi. Dalam kampanye ini BSA akan berkomunikasi langsung dengan 20.000 perusahaan dimulai pada 12 Agustus 2021. Untuk perusahaan yang ingin mempelajari lebih lanjut tentang software berlisensi, BSA mengajak para eksekutif perusahaan untuk melakukan audit internal dan mengidentifikasi potensi kesenjangan software berlisensi dalam perusahaan mereka.
BSA juga berencana untuk berkolaborasi dengan instansi pemerintah di kawasan Asia Tenggara untuk mendukung kampanye ini dan mendorong sektor swasta untuk selalu menggunakan software berlisensi. Termasuk Optical Media Board dari Filipina; Kementerian Komunikasi dan Informatika dari Indonesia; Kementerian Perdagangan Dalam Negeri dan Urusan Konsumen dari Malaysia dan polisi ECD dari Thailand.
“Menggunakan software berlisensi itu menjadikan sistem informasi yang digunakan menjadi lebih aman dari gangguan malware serangan virus, hacker dan sebagainya. Karena keamanan sistem informasi elektronik yang mereka gunakan secara rutin diupdate. Dengan keamanan cyber security yang baik, berarti dapat mengurangi resiko terjadinya peretasan ataupun kebocoran data. Hal tersebut sangat dibutuhkan untuk mendukung iklim ekonomi digital yang terus tumbuh”, ungkap Prof. Dr Henri Subiakto, SH, MA. Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika.
Masih Banyak yang Menggunakan Software Non Lisensi
BSA memperkirakan masih ada lebih dari 100.000 perusahaan desain dan teknik yang menggunakan perangkat lunak tidak berlisensi di Asia Tenggara.
Hampir setiap minggu di Asia Tenggara, perusahaan konstruksi, arsitektur, atau teknik dari sektor swasta dikenakan denda dan sanksi karena menggunakan software ilegal. Dengan demikian, kampanye BSA ditujukan untuk mengedukasi para pemimpin bisnis tentang software ilegal dan manfaat menggunakan software berlisensi
“Sangat jelas bahwa para insinyur dan desainer terkemuka di Asia Tenggara ingin menggunakan software desain berlisensi karena membuat mereka lebih produktif dan menjaga PC mereka agar tetap aman dari serangan siber,” pungkas Sawney. “Namun tantangannya adalah bahwa ternyata tidak banyak pemimpin pada perusahaan-perusahaan ini yang bersedia untuk melakukan investasi untuk kebutuhan ini.”