Hasil Oracle Happiness Report, 9 dari 10 Orang Asia Memilih Merk yang Mengedepankan Selera Humor
Orang-orang ingin suatu merek yang membuat mereka tersenyum dan tertawa, namun para pemimpin bisnis merasa khawatir apabila menggunakan humor dalam interaksi pelanggan menurut Happiness Report dari Oracle dan Gretchen Rubin, penulis dan podcaster terlaris di New York Times. Laporan penelitian mencakup pendapat lebih dari 12.000 orang di 14 negara, dan 5.254 dari JAPAC menemukan bahwa orang-orang mencari pengalaman baru untuk membuat mereka tersenyum dan tertawa dan akan menyukai merek yang mengedepankan humor sehingga rasa loyalitas, advokasi dan pembelian berulang akan muncul daripada merek yang tidak ada humor sama sekali.
Orang-orang di JAPAC mencari kebahagiaan dengan cara baru dan bersedia membayar mahal.
Sudah lebih dari dua tahun sejak terakhir banyak orang yang tidak merasakan kebahagiaan sejati dan mereka mencari cara untuk merasa bahagia lagi, berapa pun harganya. Berikut adalah beberapa temuan dari responden JAPAC.
- 44 persen responden JAPAC mengatakan mereka tidak merasakan kebahagiaan sejati selama lebih dari dua tahun dan 25 persen tidak tahu, atau lupa, apa artinya merasa benar-benar bahagia.
- 85 persen mencari pengalaman baru untuk membuat mereka tersenyum dan tertawa. Orang-orang di JAPAC memprioritaskan kesehatan (78 persen), koneksi pribadi (77 persen), dan pengalaman (45 persen) untuk mendapatkan kebahagiaan.
- Untuk merasakan kebahagiaan sejati selama satu jam saja, banyak orang rela melepaskan teman (62 persen), sebagian dari pendapatan (61 persen), mandi (55 persen) selama seminggu.
- Lebih dari separuh responden JAPAC (56 persen) berharap uang dapat membeli kebahagiaan, dengan 81 persen bersedia membayar mahal untuk kebahagiaan sejati.
- 89 persen berusaha menemukan kebahagiaan dalam belanja online selama pandemi dan 47 persen mengatakan menerima paket membuat mereka bahagia.
Periklanan, pemasaran, penjualan, dan interaksi layanan pelanggan perlu diubah
Orang menginginkan merek yang bisa membuat mereka tersenyum dan tertawa, tetapi para pemimpin bisnis justru merasa khawatir menggunakan humor dalam interaksi pelanggan karena takut dibatalkan.• 76 persen orang percaya bahwa merek dapat berbuat lebih banyak untuk memberikan kebahagiaan kepada pelanggan mereka dan 91 persen mengatakan bahwa mereka lebih suka merek yang memberikan humor dan jumlah ini meningkat di antara Gen Z (95 persen) dan Milenial (95 persen).
- Iklan: 89 persen lebih cenderung mengingat iklan yang lucu, namun para pemimpin bisnis JAPAC mengatakan bahwa hanya 17 persen iklan offline milik mereka (TV, papan iklan) dan 14 persen iklan online mereka yang aktif menggunakan humor.
- Saluran sosial: 74 persen orang akan mengikuti merek jika lucu di saluran media sosialnya, namun hanya 12 persen pemimpin bisnis yang mengatakan merek mereka menggunakan humor di media sosial.
- Pemasaran email: 68 persen orang akan membuka email dari suatu merek jika baris subjeknya lebih lucu, namun hanya 21 persen pemimpin bisnis JAPAC yang mengatakan bahwa mereka secara aktif menggunakan humor dalam kampanye pemasaran email.
- Chatbot/asisten digital: 67 persen lebih suka terlibat dengan chatbot/asisten digital yang humoris, namun hanya 24 persen pemimpin bisnis JAPAC yang mengatakan merek mereka secara aktif memasukkan humor ke dalam komunikasi bot.
Senyum dan tawa memang menghasilkan dividen, tetapi para pemimpin bisnis khawatir untuk mencoba sisi humoris pada mereknya.
Orang akan menghargai brand yang menghubungkan humor dengan loyalitas, advokasi, dan pembelian berulang dan akan meninggalkan merek yang tidak menggunakan humor.
- 56 persen orang tidak percaya bahwa mereka memiliki hubungan dengan suatu merek kecuali jika hal itu membuat mereka tersenyum atau tertawa dan 49 persen akan menjauh dari suatu merek jika itu tidak membuat mereka tertawa atau tersenyum secara teratur.
- Jika suatu merek menggunakan humor, orang lebih cenderung membeli lagi dari merek tersebut (82 persen), merekomendasikan merek tersebut kepada keluarga dan teman (81 persen), memilih merek tersebut daripada pesaing (76 persen), dan membelanjakan lebih banyak dengan merek tersebut (67 persen).
- 90 persen pemimpin bisnis melihat peluang untuk menggunakan humor untuk meningkatkan pengalaman pelanggan dan percaya bahwa merek mereka dapat berbuat lebih banyak untuk membuat pelanggan tertawa atau tersenyum.
- 76 persen pemimpin bisnis takut menggunakan humor dalam interaksi pelanggan.
- 87 persen pemimpin bisnis menyatakan bahwa mereka tidak memiliki wawasan data atau alat untuk menyampaikan humor dengan sukses. Para pemimpin bisnis akan lebih percaya diri menggunakan humor saat berinteraksi dengan pelanggan jika mereka memiliki visibilitas pelanggan yang lebih baik (54 persen) dan akses ke teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (37 persen).
“Kita semua telah mengalami masa yang sangat sulit beberapa tahun ini dan kebahagiaan di seluruh dunia dirasa kurang. Kami haus akan pengalaman yang membuat kami tertawa dan tersenyum, tetapi merek dapat membantu,” tukas Gretchen Rubin, penulis dan podcaster terlaris New York Times lima kali berturut-turut. “Untuk merek yang ingin berkontribusi pada kebahagiaan audiens target mereka, itu dimulai dengan data dan mengenal pelanggan Anda. Hanya dengan begitu, Anda dapat menghadirkan perpaduan yang tepat antara humor, kepribadian, dan pengalaman merek yang akan mendorong loyalitas dan advokasi merek.”
“Pengalaman pelanggan terus berkembang, tetapi pada akhirnya, semuanya bermuara pada satu hal: Membuat pelanggan senang,” kata Rob Tarkoff, Executive Vice President and General Manager, Oracle Fusion Cloud Customer Experience (CX). “Ada banyak faktor berbeda yang digunakan untuk menciptakan pelanggan yang bahagia dan dalam penelitian ini, kami memutuskan untuk meneliti humor karena humor adalah salah satu yang paling bernuansa. Seperti yang ditunjukkan oleh hasil, sebagian besar pemimpin bisnis ingin membuat konsumen lebih bahagia dan banyak tertawa dan memahami bahwa ini adalah bagian penting dalam membangun hubungan yang sejati. Agar sukses, merek perlu menempatkan data di jantung strategi pengalaman pelanggan mereka.”