Ini Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Distributor FMCG
Pandemi Covid-19 memberikan pukulan telak bagi berbagai macam industri bisnis yang ada di Indonesia. Proses supply chain yang melibatkan banyak pihak menjadi terganggu. Hal ini membuat sejumlah pelaku usaha memutar otak untuk mencari solusi terbaik agar tetap bisa bertahan dalam pandemi ini.
Secara umum, dampak terbesar dirasakan pada industri manufaktur, otomotif, dan industri besar lainnya dengan tingkat kontraksi hingga 60% – 70% menurut Sugi Purnoto, Senior Consultant Supply Chain Indonesia. Selain itu, lini bisnis consumer goods juga termasuk sebagai salah satu jenis bisnis yang ikut terdampak terutama bagi pihak ritel dan distributor. Menyikapi hal ini, Paper.id telah melakukan wawancara dengan sejumlah pelaku usaha yang bergerak di bidang industri FMCG bertajuk “Interview with the Expert”.
Program ini bertujuan untuk mencerdaskan masyarakat terkait isu-isu ekonomi pembangunan, bisnis dan memang secara rutin dijalankan oleh tim Paper.id perbulannya dan sekarang sudah dilakukan sebanyak 17 kali dan akan terus berlanjut. Salah satu narasumber yang pernah diwawancarai adalah Bapak Teten Masduki selaku Menteri Koperasi dan UKM Indonesia.
Dengan adanya ini, Paper.id berharap dapat memberikan lanskap jelas akan keadaan yang sedang terjadi di lapangan serta mendapatkan solusi-solusi yang dilakukan oleh perusahaan principal untuk tetap bertahan di tengah badai yang tidak pasti ini.
Grosir dan Retailer mengalami dampak yang paling signifikan
Dalam wawancara yang telah kami lakukan dengan sejumlah pihak principal, mereka mengaku tidak mengalami kesulitan yang berarti. Salah satunya, Rikat Raksamiharja, selaku Distribution Development Associate Manager dari Nutrifood mengaku, kalau ada beberapa jenis produk mereka yang mengalami kenaikan dalam tingkat permintaan dari konsumen.
Kenaikan tersebut diakui memberikan efek positif sehingga dapat menutupi hasil penjualan yang kurang memuaskan. Di lain pihak, Rikat melihat, dampak terburuk justru terjadi pada pihak grosir dan retailer. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat grosir dan retailer tidak dapat menjalankan usahanya secara lancar. Terkadang, mereka harus menutup toko sepenuhnya atau mengikuti tanggal ganjil/genap sesuai nomor toko.
Selain itu, permasalahan lainnya yang juga dialami adalah pembayaran piutang yang tidak lancar. Hal ini diakibatkan menurunnya daya beli konsumen yang lebih memilih untuk lebih selektif dalam belanja. Akibatnya, pihak grosir atau retailer mengalami penurunan dalam pemasukan dan tidak dapat membayar distributor.
Terkait masalah ini, sejumlah pelaku usaha memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengatasinya. Varend selaku Sr. Trade Marketing Manager dari PT. Mondelez International mengatakan bahwa perusahaan harus memiliki manajemen Account Receivable (AR) yang baik dalam mengelola penagihan piutang usaha, terutama dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem Pareto untuk melakukan mapping akan masalah yang ada sehingga, bisa segera mengatasinya. Sebagai contoh, distributor bisa melakukan follow up dan mengingatkan retailer besar untuk kondisi finansial yang lebih baik secara konsisten. Selain itu, distributor juga bisa fokus dalam melakukan penagihan secara digital selama pandemi, mengingat tim sales mereka tidak bisa datang ke toko-toko.
New normal : Bagaimana industri FMCG menghadapi apa yang akan terjadi selepas pandemi
Para pelaku bisnis di industri FMCG memprediksi bahwa proses recovery dipastikan akan berjalan dengan lambat. Meskipun dunia sudah pulih selepas pandemi berakhir. Budiman Goh selaku dari COO dari Enesis memprediksi bahwa industri FMCG akan mengalami rebound hanya sebesar 80%.
Sementara itu, berita mengenai munculnya 2 jenis vaksin dengan tingkat efektivitas diatas 90% (Pfizer dan Moderna) dinilai tidak akan mempengaruhi performa industri FMCG. Hal ini diucapkan oleh setiap narasumber kami, karena mereka lebih fokus dalam menghadapi day-to-day activity. Tentunya sembari bersikap waspada agar bisa melihat keadaan yang terjadi di pasar.
Di lain pihak, Varend mengaku bahwa ada 2 hal yang harus diperhatikan selepas pandemi. Pertama, perubahan perilaku konsumen. Semasa pandemi, terjadi perubahan pola konsumsi konsumen mengikuti keadaan yang sedang terjadi. Riset Nielsen menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 mengubah perilaku konsumen yang lebih fokus kepada produk personal care. Contohnya seperti kesehatan, makanan dan kebersihan serta peningkatan akses ke marketplace untuk berbelanja kebutuhan mereka. Tren tersebut diprediksi tetap akan bertahan selama 2021, mengingat pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan selesai.
Terakhir, digitalisasi perlu dilakukan bagi perusahaan yang belum melakukannya. Varend menilai, pandemi menjadi sebuah “alarm” yang menyadarkan para pengusaha bahwa mereka perlu meningkatkan produktivitas. Mereka perlu mengadopsi teknologi dalam kinerja. Dengan begitu, man-power yang ada dapat terdistribusi dengan baik sesuai dengan sasarannya.